Surabaya - Duduk di depan ruko-ruko berwarna biru, sepasang suami istri dengan tenang menunggu kedatangan pembeli terompet yang dibuatnya sendiri. Sembari menunggu hujan reda, Suwandi dan istrinya bersama-sama mengerjakan terompet yang akan dikirim besok.
Kertas warna-warni, gunting, lem, serta penjepret kertas bertebaran di atas tikar yang dilapisi koran. Namun tidak hanya itu saja, di tempat yang sempit tersebut masih ada juga barang-barang kebutuhan sehari-hari Suwandi dan istrinya. Di atas langit-langit dan di depan pintu ruko, bergantungan terompet-terompet yang dijual secara eceran oleh Suwandi.
Jalan Kapasan Kota Surabaya yang ramai ternyata kurang mampu untuk meramaikan dagangan terompet Suwandi. Belum lagi tempat biasa Suwandi menunggu pembeli ini, sering bocor terkena hujan dan sering juga ditutupi oleh mobil-mobil yang parkir. Jikalau sudah begitu, semakin kecillah tempat Suwandi bekerja dan berjualan terompet.
Sejak awal, Suwandi bukanlah penjual terompet. Sehari-hari dia merupakan penjual mainan anak. Akan tetapi keuntungan dari jualan mainan anak itu masih kalah besar dibanding keuntungan menjual terompet. Hanya dengan menjual terompet saja, dia dapat meraup keuntungan hingga 22 juta rupiah. Karena alasan itulah, Suwandi dan istrinya berbalik menjadi penjual terompet.
Berbagai persiapan mulai dilakukan. Sejak bulan Agustus, Suwandi sudah mulai bekerja memotongi kertas dan membentuk berbagai macam model terompet yag unik-unik. Akan tetapi, jalannya tidak semudah itu. Berjualan terompet di Lamongan ternyata tidak seberapa laku. Sehingga suami-istri tersebut terpaksa selama satu bulan, dari tanggal 2 Desember hingga 1 Januari, pindah ke Surabaya untuk mencari penghasilan yang lebih baik.
Suwandi dan Suwarti, istrinya, mulai berjualan di Surabaya sejak tahun 1987. Berat bagi mereka untuk mencari nafkah yang lebih baik di akhir tahun. Mulai dari meninggalkan kedua anaknya selama satu bulan, tidak merayakan tahun baru bersama, perjalanan Lamongan - Surabaya yang ditempuh dengan becak, hingga hidup di jalanan selama satu bulan. Akan tetapi, semua pengorbanan tersebut berbuah manis. Dari hasil penjualan terompet tersebut, Suwandi dapat menyekolahkan kedua anaknya.
Terompet yang mereka jual terdiri dari dua jenis model. Yang pertama adalah jenis model terompet biasa, yang berbentuk kerucut. Terompet ini pembuatannya sangat mudah. Dalam waktu dua jam, Suwandi mampu menghasilkan 300 buah terompet model ini. Dan jika dijual secara eceran, terompet ini dihargai Rp 5.000. Yang kedua adalah terompet dengan model naga besar, naga kecil, serta terompet yang berbentuk seperti terompet tiup. Terompet dengan model ini susah pembuatannya. Selama 1 hari saja belum tentu 100 terompet dihasilkan. Terompet ini dihargai Rp 10.000 hingga Rp 15.000.
Dari tahun ke tahun, usaha mereka berdua pun semakin membaik. Pesanan terompet mulai datang dari hotel, mall, restaurant di sekitar daerah Surabaya. Setiap pesanan, banyaknya beragam. Mulai dari 300 hingga 1000 buah terompet yang modelnya biasa. Hanya dengan berbekal satu potong baju dan becak yang dibawanya, Suwandi tetap mengirimkan terompet-terompet yang dipesan. Walau hal itu harus ditempuh sambil berhujan-hujanan.
Pesanan yang didapat tidak hanya dari Surabaya saja. Pesanan terompet juga datang dari luar pulau seperti Sulawesi dan Bau-Bau. Karena banyaknya pesanan yang masuk inilah, akhirnya Suwandi dan istrinya memutuskan untuk tidak berjualan secara berkeliling lagi. Mereka memutuskan untuk menetap di jalan Kapasan sambil berjualan terompet secara eceran dan mengerjakan pesanan. Uang dari hasil terompet pesanan ditabung, sementara uang dari hasil penjualan terompet eceran digunakan untuk kebutuhan sehari-hari di Surabaya serta untuk membeli kertas warna jikalau kurang.
Usaha yang ditekuni dengan sabar oleh pasangan suami-istri ini memang membawakan kemajuan yang pesat dalam keluarga. Untuk tahun ini saja, Suwandi menerima pesanan hingga 10 ribu model terompet. Akan tetapi, untuk jumlah 10 ribu itu, sudah dirasakan jauh menurun oleh Suwandi. Umumnya, mereka dapat terima pesanan jauh lebih banyak. Akan tetapi semenjak adanya terompet gas buatan pabrik, usaha terompet tradisional ini semakin lama semakin mati.
Diakui sendiri oleh Suwandi, bahwa sekarang dia sudah tidak mempunyai tetangga berjualan terompet. Padahal, tahun lalu masih ramai orang yang bernasib sama dengan Suwandi di sepanjang jalan Kapasan tersebut. Tahun lalu, terompet gas benar-benar membunuh pasaran terompet tradisional di Surabaya. Penghasilan Suwandi sendiri sempat anjlok. Untungnya tahun ini, pesanan yang datang dari Surabaya kembali seperti biasanya. Justru pesanan terompet dari luar pulau yang menurun. Hal tersebut dikarenakan terompet gas mulai memasuki dan menggeser pasaran terompet tradisional.
Begitulah kisah dari Suwandi, penjual terompet dari Lamongan, yang menetap di jalan Kapasan. Sang penjual terompet yang masih mempertahankan keaslian dari model dan cara pengerjaan yang tradisional. Penjual terompet yang rela untuk tidak tidur demi mengerjakan pesanan yang datang. [tan/but]
Kertas warna-warni, gunting, lem, serta penjepret kertas bertebaran di atas tikar yang dilapisi koran. Namun tidak hanya itu saja, di tempat yang sempit tersebut masih ada juga barang-barang kebutuhan sehari-hari Suwandi dan istrinya. Di atas langit-langit dan di depan pintu ruko, bergantungan terompet-terompet yang dijual secara eceran oleh Suwandi.
Jalan Kapasan Kota Surabaya yang ramai ternyata kurang mampu untuk meramaikan dagangan terompet Suwandi. Belum lagi tempat biasa Suwandi menunggu pembeli ini, sering bocor terkena hujan dan sering juga ditutupi oleh mobil-mobil yang parkir. Jikalau sudah begitu, semakin kecillah tempat Suwandi bekerja dan berjualan terompet.
Sejak awal, Suwandi bukanlah penjual terompet. Sehari-hari dia merupakan penjual mainan anak. Akan tetapi keuntungan dari jualan mainan anak itu masih kalah besar dibanding keuntungan menjual terompet. Hanya dengan menjual terompet saja, dia dapat meraup keuntungan hingga 22 juta rupiah. Karena alasan itulah, Suwandi dan istrinya berbalik menjadi penjual terompet.
Berbagai persiapan mulai dilakukan. Sejak bulan Agustus, Suwandi sudah mulai bekerja memotongi kertas dan membentuk berbagai macam model terompet yag unik-unik. Akan tetapi, jalannya tidak semudah itu. Berjualan terompet di Lamongan ternyata tidak seberapa laku. Sehingga suami-istri tersebut terpaksa selama satu bulan, dari tanggal 2 Desember hingga 1 Januari, pindah ke Surabaya untuk mencari penghasilan yang lebih baik.
Suwandi dan Suwarti, istrinya, mulai berjualan di Surabaya sejak tahun 1987. Berat bagi mereka untuk mencari nafkah yang lebih baik di akhir tahun. Mulai dari meninggalkan kedua anaknya selama satu bulan, tidak merayakan tahun baru bersama, perjalanan Lamongan - Surabaya yang ditempuh dengan becak, hingga hidup di jalanan selama satu bulan. Akan tetapi, semua pengorbanan tersebut berbuah manis. Dari hasil penjualan terompet tersebut, Suwandi dapat menyekolahkan kedua anaknya.
Terompet yang mereka jual terdiri dari dua jenis model. Yang pertama adalah jenis model terompet biasa, yang berbentuk kerucut. Terompet ini pembuatannya sangat mudah. Dalam waktu dua jam, Suwandi mampu menghasilkan 300 buah terompet model ini. Dan jika dijual secara eceran, terompet ini dihargai Rp 5.000. Yang kedua adalah terompet dengan model naga besar, naga kecil, serta terompet yang berbentuk seperti terompet tiup. Terompet dengan model ini susah pembuatannya. Selama 1 hari saja belum tentu 100 terompet dihasilkan. Terompet ini dihargai Rp 10.000 hingga Rp 15.000.
Dari tahun ke tahun, usaha mereka berdua pun semakin membaik. Pesanan terompet mulai datang dari hotel, mall, restaurant di sekitar daerah Surabaya. Setiap pesanan, banyaknya beragam. Mulai dari 300 hingga 1000 buah terompet yang modelnya biasa. Hanya dengan berbekal satu potong baju dan becak yang dibawanya, Suwandi tetap mengirimkan terompet-terompet yang dipesan. Walau hal itu harus ditempuh sambil berhujan-hujanan.
Pesanan yang didapat tidak hanya dari Surabaya saja. Pesanan terompet juga datang dari luar pulau seperti Sulawesi dan Bau-Bau. Karena banyaknya pesanan yang masuk inilah, akhirnya Suwandi dan istrinya memutuskan untuk tidak berjualan secara berkeliling lagi. Mereka memutuskan untuk menetap di jalan Kapasan sambil berjualan terompet secara eceran dan mengerjakan pesanan. Uang dari hasil terompet pesanan ditabung, sementara uang dari hasil penjualan terompet eceran digunakan untuk kebutuhan sehari-hari di Surabaya serta untuk membeli kertas warna jikalau kurang.
Usaha yang ditekuni dengan sabar oleh pasangan suami-istri ini memang membawakan kemajuan yang pesat dalam keluarga. Untuk tahun ini saja, Suwandi menerima pesanan hingga 10 ribu model terompet. Akan tetapi, untuk jumlah 10 ribu itu, sudah dirasakan jauh menurun oleh Suwandi. Umumnya, mereka dapat terima pesanan jauh lebih banyak. Akan tetapi semenjak adanya terompet gas buatan pabrik, usaha terompet tradisional ini semakin lama semakin mati.
Diakui sendiri oleh Suwandi, bahwa sekarang dia sudah tidak mempunyai tetangga berjualan terompet. Padahal, tahun lalu masih ramai orang yang bernasib sama dengan Suwandi di sepanjang jalan Kapasan tersebut. Tahun lalu, terompet gas benar-benar membunuh pasaran terompet tradisional di Surabaya. Penghasilan Suwandi sendiri sempat anjlok. Untungnya tahun ini, pesanan yang datang dari Surabaya kembali seperti biasanya. Justru pesanan terompet dari luar pulau yang menurun. Hal tersebut dikarenakan terompet gas mulai memasuki dan menggeser pasaran terompet tradisional.
Begitulah kisah dari Suwandi, penjual terompet dari Lamongan, yang menetap di jalan Kapasan. Sang penjual terompet yang masih mempertahankan keaslian dari model dan cara pengerjaan yang tradisional. Penjual terompet yang rela untuk tidak tidur demi mengerjakan pesanan yang datang. [tan/but]
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !